YANTO (36) bersama ratusan penduduk lainnya di Kampung Beting, Kodya Pontianak, sibuk memasang drum di sisi rumah mereka. Guyuran hujan lebat saat itu sama sekali tidak dihiraukan. Mereka malah bertambah semangat menadah air hujan ke dalam drum yang telah disediakan, lalu mengisinya ke sejumlah jeriken. Air tersebut untuk minum dan masak.Kenyataan ini benar-benar ironis.
Sungai Kapuas
Penggunaan air hujan bukan hanya di Kampung Beting, melainkan semua masyarakat yang tinggal di tepi kiri dan kanan sepanjang alur Sungai Kapuas. Kebiasaan itu mulai dilakukan selama kurang lebih 15 tahun terakhir, seiring semakin keruh, kotor, pekatnya air Sungai Kapuas dan dipenuhi sampah dan lumpur sebagai akibat dari pencemaran yang tak terkendali. "Keadaan demikian tidak baik untuk dikonsumsi, sebab berisiko tinggi serta sangat berbahaya bagi kesehatan. Satu-satunya pilihan adalah menadah air hujan," ujar Ahmad (54), warga Saigon, Pontianak Timur. Ia mengaku di rumahnya juga dialiri air bersih yang disuplai Perusahaan Air Minum. Namun air itu tidak dimanfaatkan untuk makan dan minum, sebab keruh dan kotor.
KERUH, kotor, berlumpur serta lain sejenisnya merupakan bagian dari Sungai Kapuas. Itu disebabkan maraknya pembuangan limbah cair, kendaraan bermotor bekas, sampah organik serta anorganik yang dilakukan penduduk dan industri. Misalnya, dari muara sungai Kapuas hingga Padangtikar. Sepanjang alur sejauh 70-an kilometer tersebut, sejak puluhan tahun silam dibangun 40 industri pengolahan karet dan kayu. Semua limbah cair industri-industri tersebut dibuang ke Sungai Kapuas.
Kenyataan ini diperparah lagi dengan begitu maraknya kegiatan aksi penambangan emas ilegal. Kegiatan tersebut bukan hanya merusak hutan dan lahan, namun lebih parah lagi menimbulkan pencemaran yang luar biasa, khususnya terhadap Sungai Kapuas. Sebab, para penambang umumnya menggunakan air raksa bagi pembersihan endapan aluvial untuk mendapatkan emas.
Kerikil, pasir dan lumpur bercampur air raksa hasil pembersihan endapan aluvial mengalir ke sungai terdekat. Dan, sungai-sungai itu merupakan anak Sungai Kapuas, jantung kehidupan masyarakat Kalbar. Akibatnya, air sungai yang sebelumnya cukup jernih berubah menjadi sangat kotor, pekat serta berlumpur, dan membahayakan bagi penduduk Kalbar, jika terus-menerus mengonsumsi air Sungai Kapuas.
Kegiatan penambangan emas ilegal ini mulai dilakukan masyarakat lokal sejak puluhan tahun silam. Ketika itu peralatan yang digunakan masih tradisional, tanpa air raksa. Namun semenjak 1980-an, penambang pun menggunakan mesin yang berkekuatan 20 PK. Melihat prospek yang cukup cerah, sejumlah pengusaha mulai melirik kegiatan tersebut.
Kolam bekas penambangan
Kini sedikitnya 6.385 hektar hutan serta lahan dijadikan lokasi penambangan. Semuanya tersebar merata di semua kabupaten di Kalbar dengan melibatkan sedikitnya 15.565 orang tenaga kerja. Mereka menggunakan sekitar 3.113 unit mesin yang berkekuatan rata-rata berkisar 20 - 100 tenaga kuda (PK).
Jumlah penambangan emas ilegal terbanyak terdapat di Kabupaten Sintang, yakni 174 lokasi dengan luas areal yang dikerjakan 2.241,5 hektar. Lalu menyusul Kabupaten Ketapang yang tersebar di 21 lokasi atau 2.034 hektar, Kabupaten Pontianak 23 lokasi atau 1.091 hektar, Sambas 16 lokasi atau 505 hektar, Kabupaten Sanggau dan Sekadau 63 lokasi atau 212,45 hektar dan Kabupaten Kapuas Hulu 57 lokasi atau 70,5 hektar.
Terkontaminasi
Sementara itu, hasil penelitian terhadap sampel rambut dan kuku pada tiga kelompok masyarakat di daerah-daerah penambangan emas di Kalimantan Barat menunjukkan, kehidupan mereka sudah sangat rawan terkontaminasi oleh merkuri. Bahkan, beberapa sampel yang diambil diketahui kandungan merkurinya berada di atas rentang normal atau sudah tercemar zat logam berbahaya tersebut.
Penelitian ini dilakukan oleh lembaga Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK) Pancur Kasih bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalbar, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura, dan Balai Riset dan Standarisasi Industri dan Perdagangan Pontianak. Menurut Yohanes Janting, penelitian yang berlangsung delapan bulan (September 2002- April 2003) ini memfokuskan titik pengambilan sampel pada tiga kelompok masyarakat. Kelompok pertama, masyarakat yang bekerja sebagai penambang di daerah Monterado, Sungai Ayak, Sungai Sekayam, Sungai Tayan, Nanga Sepauk, dan Sungai Mandor.
Kelompok kedua meliputi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan di daerah Sungai Ayak, Sungai Sekayam, Nanga Sepauk, dan Sungai Mandor. Dan kelompok ketiga, masyarakat pengguna air bersih di Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak.
Berdasarkan penelitian, semua sampel yang diambil, baik penambang, penduduk sekitar pertambangan dan pengguna air bersih PDAM sudah ada yang terkontaminasi merkuri. Pada sampel rambut terlihat kadar merkuri tertinggi terdapat pada penduduk sekitar penambangan 4,69 ug/g, penambang 4,39 ug/g dan pengguna PDAM 1,3 ug/g. Adapun, untuk sampel kuku menunjukkan, kadar merkuri paling tinggi terdapat pada pengguna PDAM 2,80 ug/g, penambang 2,22 ug/g, dan penduduk sekitar penambangan 1,76 ug/g. Dari angka ini terlihat bahwa kadar merkuri pada rambut jelas masih berada di rentang normal kandungan merkuri pada rambut manusia, yakni 0,4-6,6 ug/g. Namun, beberapa sampel menunjukkan kandungan merkurinya berada di atas rentang tersebut.
Untuk seluruh sampel rambut penambang, kandungan merkuri di atas 6,0 ug/g karena mereka terlibat mencampur merkuri dan pembakar amalgama. Sampel rambut penduduk di sekitar penambang yang berada di atas 6.0 ug/g itu menunjukkan penduduk memanfaatkan sungai sebagai sumber air untuk minum dan memasak.
TINGKAT pencemaran Sungai Kapuas, menurut Prof Ir Abdul Hamid MEng, Ketua Umum Masyarakat Peduli Sungai Kapuas, sebetulnya sudah tergolong berbahaya. Berdasarkan hasil penelitian, sungai ini telah mengandung sejumlah limbah beracun, seperti mercuri, logam berat, dan lain sejenisnya. Limbah tersebut telah mengendap atau menumpuk di dasar Sungai Kapuas.
Bahkan, ketika diteliti lebih jauh terhadap beberapa ekor ikan yang ditangkap dari Sungai Kapuas di Kodya Pontianak dan sekitarnya, pada insang dan perutnya ditemukan sejenis racun seperti mercuri dan logam berat. Ini tentu membahayakan bagi manusia. Sebab, jika terus-menerus mengonsumsi ikan beracun itu, berpotensi menderita penyakit kanker, ginjal dan syaraf.
Senada dengan Abdul Hamid, Ketua Pusat Studi Perairan Tawar dan Pantai Universitas Tanjungpura Dr Mardan Adijaya mengungkapkan bahwa hasil penelitiannya tahun 1995 pada air Sungai Kapuas di Sintang dan Kodya Pontianak, memperlihatkan bahwa kandungan mercuri Sungai Kapuas di kedua lokasi itu sudah berkisar 0,8 - 10,0 ppb. Padahal berdasarkan standar baku mutu yang dibolehkan bagi air minum maksimal 1,0 ppb.
"Saya yakin mercuri yang terkandung di dalam air Sungai Kapuas pasti meningkat tajam. Sebab dalam empat tahun terakhir, khususnya sejak terjadi krisis ekonomi, aksi penambangan emas ilegal semakin marak serta besar-besaran," ujar Mardan yang juga pengajar Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura.
Pencemaran agaknya terus menghantui Sungai Kapuas, dan semakin membahayakan bagi masyarakat Kalimantan Barat. Namun untuk membangunkan kesadaran dari setiap individu manusia untuk segera menyelamatkan dan melestarikan Sungai Kapuas merupakan persoalan tidak mudah.
Watak manusia Indonesia cenderung kurang antusias melakukan pencegahan dini. Lepas dari semua itu, satu hal yang pasti adalah bahaya pencemaran Sungai Kapuas telah di depan mata, dan sewaktu-waktu bakal mengancam kelangsungan hidup warga Kalbar. Berarti, tidak ada pilihan lain bagi seluruh lapisan masyarakat di Kalbar, kecuali segera memberikan yang terbaik bagi Sungai Kapuas – atau – mati pelan-pelan.
Sumber : KOMPAS Senin, 2 Oktober 2000; Rabu, 09 Jul 2003; Selasa, 09 Mei 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar